The Paradox of Choice: Ketika Terlalu Banyak Pilihan Justru Membingungkan

Kina adalah seorang penyuka film bergenre science-fiction. Di akhir pekan, ia memutuskan untuk menonton film di bioskop. Hari itu hanya ada 5 film yang tayang, masing-masing dari genre berbeda : romantis, misteri, horor, drama, dan tentu saja science-fiction. Bagi Kina, memilih jadi hal yang mudah—tanpa ragu, ia langsung memutuskan menonton film sci-fi kesukaannya.

Namun, minggu berikutnya, ketika ingin makan malam sambil menonton film di laptop melalui layanan streaming, situasinya berubah. Platform tersebut menyediakan lebih dari 200 film, dan hanya dalam kategori sci-fi saja sudah ada lebih dari 40 judul. Kina menghabiskan waktu lama untuk mencari film yang “paling tepat” hingga makan malamnya dingin sebelum film diputar. Fenomena ini adalah contoh nyata dari apa yang disebut sebagai the paradox of choice.

Konsep ini dipopulerkan oleh Barry Schwartz dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More is Less. Ia berargumen bahwa walaupun kebebasan memilih dianggap sebagai bentuk otonomi dan pemberdayaan, terlalu banyak pilihan justru bisa membuat kita kewalahan, bingung, dan bahkan menyesali keputusan yang telah diambil.

Penelitian mendukung argumen ini. Studi terkenal oleh Iyengar dan Lepper menunjukkan bahwa konsumen lebih mungkin membeli produk ketika pilihan yang tersedia lebih sedikit. Ketika dihadapkan pada 24 jenis selai, hanya 3% pengunjung yang membeli, sedangkan ketika hanya ditawarkan 6 pilihan, angka pembelian meningkat menjadi 30%.

Schwartz juga membedakan dua tipe pengambil keputusan: maximizers, yang selalu mencari pilihan terbaik, dan satisficers, yang puas dengan pilihan yang cukup baik. Menariknya, satisficers justru lebih bahagia dan jarang mengalami penyesalan pasca-keputusan dibandingkan maximizers yang sering merasa ada opsi yang lebih baik dari yang mereka pilih.

Pendekatan eksistensialis yang diangkat dalam artikel Mohammed Zeinu Hassen juga menyoroti bahwa kebebasan dalam memilih sering kali memperparah kecemasan individu. Di sisi lain, pendekatan utilitarian menekankan bahwa kesejahteraan masyarakat bisa terganggu ketika individu terbebani oleh terlalu banyak pilihan. Kedua pendekatan ini sepakat bahwa lebih banyak pilihan tidak otomatis berarti lebih baik.

Dalam dunia e-commerce, dampak paradox of choice juga nyata. Charlotte Franssen dalam artikelnya di Convertize menunjukkan bahwa terlalu banyak pilihan bisa menurunkan konversi pembelian. Konsumen cenderung menunda keputusan atau bahkan tidak membeli sama sekali ketika opsi yang tersedia terlalu banyak. Strategi seperti penyederhanaan tampilan produk, filter personalisasi, dan penggunaan taktik urgensi dapat membantu konsumen membuat keputusan lebih cepat dan puas.

Untuk mengatasi paradox of choice, para ahli menyarankan beberapa strategi seperti membatasi jumlah pilihan, melatih mindfulness, fokus pada nilai dan tujuan pribadi, serta melibatkan orang lain dalam pengambilan keputusan penting. Menggeser fokus dari mencari yang “terbaik” ke rasa syukur atas pilihan yang tersedia juga dapat membantu meningkatkan kepuasan hidup.

Seperti pengalaman Kina, terlalu banyak pilihan tidak selalu menyenangkan. Dalam banyak situasi, pilihan yang lebih terbatas justru membuat hidup lebih sederhana dan menyenangkan. The paradox of choice mengajarkan kita bahwa kunci kebahagiaan bukanlah jumlah pilihan yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memaknai dan merasa cukup dengan pilihan yang kita buat.

Kalau masih ingin tahu info yang lain langsung saja cek https://welasasihconsulting.id/. Nah, Welas Asih Consulting juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi kamu yang ingin berkonsultasi loh, for more info kamu bisa hubungi Minsih  melalui nomor berikut ini https://wa.me/6281229195390 ya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top