The Happiness Trap: Mengapa Semakin Kita Mengejar, Semakin Kita Kehilangan Kebahagiaan?

Penelitian psikologi terbaru menunjukkan bahwa terlalu menghargai kebahagiaan secara berlebihan justru bisa menjadi bumerang. Dalam sebuah eksperimen, partisipan yang diminta untuk lebih mengutamakan kebahagiaan justru merasa kurang bahagia, bahkan dalam situasi yang seharusnya membuat mereka senang. Ketika mereka menonton film yang memunculkan perasaan positif, mereka malah merasa kecewa karena tidak merasakan kebahagiaan seperti yang mereka harapkan. Dari eksperimen tersebut, harapan yang terlalu tinggi menciptakan celah antara ekspektasi dan realita, dan kekecewaan itu akhirnya menurunkan tingkat kebahagiaan mereka sendiri. Semakin besar penghargaan seseorang terhadap kebahagiaan, semakin tinggi pula rasa kecewanya—dan semakin rendah perasaan bahagianya.

Coba bayangkan, pernahkah kamu berpikir seperti ini?

“Kayaknya kalau aku punya iPhone 16, aku akan bahagia deh.”

“Kalau aku bisa masuk PTN X, pasti hidupku lebih bermakna.”

“Kalau aku kerja di perusahaan A, mungkin akhirnya aku bisa tenang dan bahagia.”

Tanpa kita sadari, kita kerap menggantungkan kebahagiaan pada satu titik pencapaian. Liburan ke luar negeri, nonton konser idola, beli mobil baru, atau meraih pekerjaan bergengsi—semuanya tampak seperti tiket menuju hidup yang lebih bahagia.

Tapi pernahkah kamu bertanya, apa yang terjadi setelah semua itu tercapai? Mengapa sering kali muncul rasa hampa, seolah kebahagiaan yang dijanjikan tidak benar-benar hadir? Kenapa justru muncul pertanyaan lanjutan: “Habis ini, apa lagi ya yang bisa bikin aku bahagia?”

Fenomena ini dikenal sebagai the paradox of happiness—semakin kita mengejar kebahagiaan sebagai pengalaman yang harus terjadi dalam momen tertentu, semakin besar kemungkinan kita merasa kecewa. Studi menunjukkan bahwa ketika seseorang terlalu memprioritaskan kebahagiaan, ia justru lebih sensitif terhadap ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Harapan tinggi menciptakan tekanan emosional: jika momen yang ditunggu-tunggu tidak membawa perasaan seperti yang dibayangkan, yang muncul bukan bahagia—melainkan frustrasi dan keraguan.

Masalahnya bukan semata karena kita ingin bahagia—itu hal yang sangat manusiawi. Yang jadi persoalan adalah ekspektasi tinggi yang kita lekatkan pada momen tertentu yang kita bayangkan akan membawa kebahagiaan. Kita membayangkan bahwa saat momen itu datang—ketika punya pasangan, diterima di universitas impian, punya pekerjaan tetap, atau bisa liburan ke destinasi favorit—kita akan merasa puas, utuh, dan tenang. Namun kenyataannya, saat momen itu benar-benar datang, sering kali perasaan itu tak seintens yang dibayangkan. Kita kecewa karena ekspektasi tidak terpenuhi. Lalu kita pun mulai bertanya dalam hati: “Kok rasanya nggak seperti yang aku bayangkan ya?”

Penelitian lain dari Universitas Toronto juga menunjukkan bahwa ketika seseorang terlalu fokus mengejar kebahagiaan, ia merasa waktu hidupnya makin sempit. Tekanan batin pun muncul—seolah-olah kita harus merasa bahagia sekarang juga, atau semuanya akan terlambat. Alih-alih merasa damai, kita justru merasa terburu-buru, gelisah, dan tidak pernah cukup.

Padahal, kebahagiaan tidak selalu datang dari pencapaian besar. Ia justru sering muncul dalam bentuk-bentuk kecil: ngobrol hangat dengan sahabat, menyeduh teh favorit, tertawa karena video lucu, atau menyelesaikan halaman terakhir buku yang kita suka. Menulis jurnal syukur adalah salah satu cara yang terbukti mampu menumbuhkan rasa cukup—membantu kita menyadari bahwa ada begitu banyak hal baik yang sudah ada dalam hidup kita.

Mengejar kebahagiaan bukan hal yang salah. Tapi ketika kita membebani momen tertentu dengan ekspektasi kebahagiaan yang berlebihan, kita berisiko kehilangan keindahan dari momen itu sendiri. Mungkin, kebahagiaan bukan sesuatu yang harus dikejar habis-habisan—melainkan sesuatu yang perlu disadari, dirasakan, dan diterima dalam bentuk-bentuknya yang paling sederhana.

Kalau masih ingin tahu info yang lain langsung saja cek https://welasasihconsulting.id/. Nah, Welas Asih Consulting juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi kamu yang ingin berkonsultasi loh, for more info kamu bisa hubungi Minsih  melalui nomor berikut ini https://wa.me/6281229195390 ya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top