Stockholm Syndrome: Ikatan yang Tercipta dari Ketergantungan dan Ketakutan

Pernah nggak, kamu nonton Beauty and the Beast? Cerita tentang Belle yang ditahan di kastil Beast, tapi lama-lama malah muncul rasa sayang di antara mereka? Nah, itu sedikit mengingatkan kita pada fenomena nyata yang dinamakan Stockholm Syndrome.

Istilah ini pertama kali muncul setelah peristiwa perampokan bank di Stockholm, Swedia, tahun 173. Saat itu, empat pegawai bank disandera selama enam hari. Yang mengejutkan, para sandera justru menunjukkan simpati kepada penyandarannya, bahkan setelah dibebaskan. Seperti yang dijelaskan oleh Vecchi dkk. (2009), para sandera merasa bahwa penyandera mereka sebenarnya “melindungi” mereka dari ancaman yang lebih besar, yaitu polisi Tapi, kok bisa ya orang malah terikat sama orang yang mengancam nyawanya?. Menurut Jameson (2010), hal ini terjadi karena dalam situasi sangat tertekan, ikatan dengan pelaku bisa menjadi strategi bertahan hidup. Daripada melawan dan berisiko disakiti, korban malah “mengadaptasi” diri dengan cara membangun hubungan emosional sebagai bentuk harapan 

Penelitian lain dari Namnyak dkk. (2008) menemukan ada pola umum pada kasus-kasus yang dikaitkan dengan Stockholm Syndrome: korban mengalami ancaman langsung, dikurung dalam isolasi, punya kesempatan melarikan diri tapi memilih bertahan, dan tetap menunjukkan simpati pada pelaku setelah bebas .Menariknya, meskipun istilah Stockholm Syndrome sering disebut dalam berbagai kasus penyanderaan atau kekerasan, penelitian oleh Namnyak dkk. (2008) menemukan bahwa dari 1.200 kasus yang dianalisis, hanya 32 kasus atau sekitar 2,7% yang benar-benar memenuhi kriteria klinis Stockholm Syndrome.

Kalau kita kembali ke cerita Beauty and the Beast, meskipun ini fiksi dan berakhir manis, kita bisa melihat elemen-elemen yang mirip: Belle awalnya ketakutan, dikurung, tapi kemudian Beast memperlakukannya dengan kebaikan kecil memberinya kamar, makanan, dan waktu untuk mengenal sisi lembutnya. Dalam kondisi tertekan seperti itu, perhatian sekecil apa pun bisa terasa sangat berarti, dan membuat korban mengembangkan perasaan positif. .Pada akhirnya, Stockholm Syndrome menunjukkan betapa kompleksnya reaksi manusia saat menghadapi ancaman hidup. Kadang, dalam situasi ketidakberdayaan total, membangun ikatan dengan pelaku terasa seperti satu-satunya cara untuk bertahan hidup.

Ternyata, hubungan emosional di situasi tertekan bisa sekompleks itu ya. Kalau kamu mau ngobrol lebih banyak tentang dinamika hubungan manusia, langsung aja mampir ke https://welasasihconsulting.id/. Nggak cuma baca, kamu juga bisa curhat bareng profesional di Welas Asih Consulting. Mau tanya-tanya? Hubungi Minsih di https://wa.me/6281229195390 ya!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top