
Pernahkah kamu mendengar seseorang berkata, “Mantanku 100% NPD!” atau “Dia pasti mengidap NPD!”? Belakangan ini, istilah Narcissistic Personality Disorder (NPD) seolah menjadi label populer untuk menggambarkan pasangan yang berperilaku menyebalkan. Padahal, ini adalah bentuk salah kaprah yang cukup serius. Tidak semua orang yang menunjukkan perilaku menyebalkan atau menyakiti pasangannya memiliki gangguan kepribadian narsistik.
NPD adalah gangguan kepribadian yang kompleks, bukan sekadar sifat egois atau percaya diri yang berlebihan. Seseorang harus menunjukkan pola pikir, perasaan, dan perilaku tertentu yang menetap dan mengganggu fungsi kehidupannya secara signifikan untuk dapat didiagnosa mengidap NPD. Di antaranya adalah perasaan superior yang ekstrem, kurangnya empati yang konsisten, kebutuhan yang berlebihan untuk dikagumi, dan lainnya. Bayangkan seseorang yang tidak hanya sesekali ingin dipuji, tetapi hidupnya benar-benar tergantung pada pengakuan orang lain. Mereka tidak hanya kadang kurang peka, tetapi benar-benar kesulitan memahami perasaan orang lain dalam hampir setiap situasi.
Sayangnya, media sosial dan konten populer sering kali menyederhanakan konsep ini. Kita sering disuguhi video atau artikel dengan judul seperti “5 Tanda Pasanganmu Narsistik” atau “Waspadai NPD dalam Hubungan” yang membuat orang merasa cukup untuk mendiagnosis pasangan hanya dengan melihat perilaku di permukaannya. Konten semacam ini bisa membuat kita merasa menjadi “ahli dadakan” dalam mendiagnosis orang lain. Padahal, diagnosis NPD tidak dapat diberikan hanya berdasarkan beberapa perilaku negatif dalam hubungan, melainkan memerlukan evaluasi yang menyeluruh oleh profesional. Berdasarkan survei nasional Amerika Serikat, hanya terdapat sekitar 6,2% orang dewasa yang pernah mengalami NPD sepanjang hidupnya.
Tidak semua hubungan yang tidak sehat disebabkan oleh NPD. Banyak faktor lain yang bisa mempengaruhi kualitas hubungan, yaitu regulasi emosi, pola asuh orang tua, dan gaya keterikatan atau attachment style. Bahkan, seseorang yang memiliki ciri-ciri narsistik belum tentu memiliki gangguan NPD. Hal ini dikarenakan seseorang mungkin menunjukkan ciri-ciri narsistik secara ringan dan hanya sesekali, sedangkan seorang dengan gangguan NPD akan secara rutin menggunakan taktik narsistik yang merusak demi mendapatkan rasa superioritas semu dan mengeksploitasi hubungan dengan orang lain.
Memberi label NPD tanpa pemahaman yang benar itu dapat berbahaya, di antaranya dapat menciptakan stigma negatif terhadap seseorang yang benar-benar mengalami gangguan ini dan mengalihkan sumber daya kesehatan mental dari mereka yang benar-benar memerlukan. Penting untuk diingat bahwa diagnosis bukanlah tugas dari pasangan, melainkan tanggung jawab profesional. Fokus kita seharusnya bukan pada memberi label, tetapi pada mengenali apakah hubungan ini sehat, saling menghargai, dan aman secara emosional. Jika jawabannya tidak, maka menetapkan batasan, mencari dukungan, atau mengakhiri hubungan bisa jadi langkah yang bijak, baik dengan atau tanpa label NPD.
Dengan pemahaman yang lebih tepat, kita bisa membangun hubungan yang lebih sehat, tidak hanya dengan pasangan, tetapi juga dengan diri sendiri. Dan yang paling penting, mari kurangi diagnosis berlebihan dan perbanyak belajar memahami. Hubungan yang sehat butuh pemahaman, bukan pelabelan.
Penasaran dengan topik hubungan dan kesehatan mental? Jangan biarkan dirimu terjebak dalam label dan diagnosis awam! Kunjungi https://welasasihconsulting.id/ untuk mendapatkan informasi lainnya. Butuh ruang aman untuk bercerita dan mendapatkan solusi nyata? Welas Asih Consulting siap membantumu menavigasi kompleksitas hubungan dan perasaan. Ambil langkah positif untuk kesehatan mentalmu sekarang dengan menghubungi Minsih di nomor berikut https://wa.me/6281229195390 dan temukan versi terbaikmu hari ini!