
Pada awal 2025, TikTok menjangkau 50,7% dan Instagram 48,7% dari total pengguna internet di Indonesia. Pernahkah kamu merasa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling TikTok atau Reels, tetapi tak satupun dari kontennya benar-benar kamu ingat? Atau tertawa terbahak-bahak pada video absurd yang bahkan tak bisa kamu jelaskan kenapa lucu? Fenomena ini dikenal sebagai “brain rot content“, yaitu konten yang terasa menyenangkan sesaat, namun secara perlahan dapat memberikan dampak negatif pada kesehatan mental kita.
Istilah brain rot atau pembusukan otak merujuk pada penurunan kondisi mental atau intelektual seseorang, terutama akibat konsumsi berlebihan terhadap materi yang dianggap sepele atau tidak menantang. Secara sederhana, brain rot content adalah jenis hiburan yang dangkal, berulang, dan absurd. Meski umumnya tidak memiliki nilai informasi berarti, konten semacam ini sangat adiktif—mulai dari video dengan efek berlebihan, meme dengan inside jokes yang tidak umum, hingga kompilasi tingkah laku aneh yang viral.
Mengapa konten seperti ini membuat ketagihan? Jawabannya terletak pada kemampuannya memanipulasi sistem dopamin di otak. Setiap notifikasi dan konten baru memicu pelepasan dopamin, menciptakan rasa penasaran dan keinginan untuk terus mencari konten baru meskipun menyebabkan kelelahan mental. Sistem dopamin tidak memiliki mekanisme “kenyang”, sehingga pengguna terus scrolling tanpa henti mencari kesenangan berikutnya. Meskipun memicu dopamin, konten ini jarang memberikan kepuasan emosional atau intelektual nyata. Pengguna menghabiskan berjam-jam di media sosial tanpa menyadarinya, mengonsumsi konten tanpa manfaat yang bermakna.
Daya tarik utama dari konten ini adalah “anticipatory reward“, yaitu rasa penasaran mengenai apa yang akan muncul selanjutnya. Setiap swipe bisa membawa harapan menemukan sesuatu menarik, dan ketika kecewa, kita tetap melanjutkannya karena terdapat harapan untuk menemukan sesuatu lebih baik berikutnya. Siklus harapan-kekecewaan ini memperkuat pola ketagihan dan akibatnya, kemampuan otak untuk mengingat, merencanakan, dan mengambil keputusan dapat menurun.
Namun, dalam batas wajar, konten brain rot juga memiliki sisi positif. Konten ini dapat membantu melepas stres, menjadi media kreativitas, atau bahkan menjadi bahan bonding dengan teman yang memiliki selera humor serupa. Kuncinya adalah kesadaran dalam mengonsumsi dan menyeimbangkannya dengan konten yang lebih bermakna. Membatasi waktu penggunaan gadget, memilih konten yang bermanfaat, dan meluangkan waktu untuk aktivitas di luar layar seperti olahraga, mengobrol langsung dengan teman, atau membaca buku fisik dapat meningkatkan kesehatan kognitif dan ketahanan emosional kita.
Jadi, saat jemari kita mulai refleks melakukan scrolling tanpa henti, ingatlah bahwa otak kita terlalu berharga untuk terus-menerus diberi asupan konten yang hanya memberikan kesenangan sesaat. Tantangan sejati di era digital ini bukan sekadar menghindari brain rot content, tetapi menciptakan keseimbangan yang membuat kita tetap terhubung, terinformasi, dan yang terpenting—tetap menjaga kesehatan mental.
Jika kamu penasaran mengenai topik yang lain, langsung saja kunjungi https://welasasihconsulting.id untuk informasi lebih lanjut. Welas Asih Consulting juga bisa menjadi pilihan tepat jika kamu ingin berkonsultasi tentang bagaimana mengelola konsumsi konten digital yang sehat. Untuk detail lebih lanjut, kamu bisa menghubungi Minsih di nomor berikut https://wa.me/6281229195390 ya.