Insanity Defense: Ketika Kesehatan Mental Bertemu di Peradilan

Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar tentang kasus ketika terdakwa dinyatakan tidak bertanggung jawab atas kejahatan karena mengalami gangguan jiwa. Ini disebut insanity defense, yaitu pembelaan hukum saat seseorang dianggap tidak memahami bahwa tindakannya salah atau tidak mampu mengendalikan perilakunya akibat gangguan mental berat. Banyak orang mengira pembelaan ini sering dipakai untuk lolos dari hukuman. Padahal, menurut Daftary-Kapur dkk., kenyataannya insanity defense digunakan hanya dalam kurang dari 1% kasus pidana berat. Artinya, sistem hukum sangat ketat dalam menilai klaim ini.

Secara psikologis, insanity defense berhubungan dengan kondisi mental seperti skizofrenia, gangguan bipolar dalam fase mania, atau gangguan disosiatif berat. Dalam kondisi tersebut, seseorang bisa benar-benar kehilangan kemampuan menilai realitas. Ini berbeda dari sekadar marah atau impulsif; dalam kasus gangguan berat, kesadaran moral dan kontrol perilaku bisa benar-benar terganggu.

Kasus Audrey Hale di Nashville yang viral pada tahun 2023 sempat menyoroti pentingnya perhatian terhadap kesehatan mental. Meskipun tidak sampai pengadilan, latar belakang kondisi mental pelaku memperlihatkan bagaimana gangguan yang tidak tertangani dapat berujung pada tragedi. Ini mengingatkan bahwa memahami kesehatan mental bukan untuk membenarkan kejahatan, tapi untuk menjaga keadilan.

Di Indonesia, penggunaan pembelaan semacam ini masih tergolong langka karena validitasnya akurat. Sebagai contoh pada tahun 2024 terjadi sebuah  insiden pembunuhan oleh seorang pria di Jakarta Utara. setelah dilakukan penyelidikan yang panjang, sang pelaku terbukti mengidap skizofrenia yang membuat ia sering mengalami halusinasi serta merasa mendapatkan bisikan untuk melakukan kejahatan.  Kasus ini menunjukkan bahwa pembelaan hukum atas dasar gangguan mental harus melalui proses verifikasi yang ketat guna memastikan keabsahannya.

Dalam praktiknya, pengadilan tidak langsung percaya kalau seseorang mengaku mengalami gangguan jiwa. Terdakwa tetap harus menunjukkan bukti yang cukup, seperti hasil pemeriksaan medis, keterangan dari ahli, atau dokumen lain yang mendukung bahwa saat kejadian, dia memang tidak sadar atau tidak paham atas apa yang dilakukannya. Menariknya, pembuktiannya tidak harus 100 persen yakin tanpa keraguan. Cukup kalau bukti yang ada lebih meyakinkan dibanding tidaknya. Ini disebut sebagai preponderance of probability, yang artinya: kemungkinan besar memang benar orang itu tidak sadar saat melakukan perbuatan tersebut.

Studi Adjorlolo dkk. juga menekankan bahwa stigma dan ketidaktahuan tentang gangguan jiwa bisa mempengaruhi keadilan di pengadilan. Insanity defense mengingatkan kita bahwa keadilan tidak hanya soal hukuman, tapi juga soal memahami manusia secara utuh, termasuk kondisi mental mereka.

Wah, ternyata aspek kesehatan mental bisa berpengaruh besar dalam sistem hukum ya. Kalau kamu mau tahu lebih banyak topik menarik tentang psikologi dan hukum, langsung aja cek https://welasasihconsulting.id/. Nggak cuma membaca, di Welas Asih Consulting kamu juga bisa ngobrol langsung dengan para ahli, lho. Info lebih lanjut bisa hubungi Minsih di https://wa.me/6281229195390 ya!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top