
Pernahkah kamu merasa butuh bantuan psikologis tapi langsung terlintas, “Malu sama temen ah nanti dikira lemah,” atau “Gengsi ah”?
Di banyak negara, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah, stigma terhadap kesehatan mental masih kuat (Naslund & Deng, 2021). Mulai dari stigma kalau gangguan mental itu memalukan, berbahaya, sampai kurangnya perlindungan hukum dan layanan. Hal tersebut menjadi tembok besar bagi mereka yang ingin pulih. Bahkan di Indonesia, menurut Menteri Kesehatan, sekitar 30 persen dari 280 juta penduduk mengalami penyakit mental, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini di tengah kuatnya stigma sosial yang masih mengakar (Tempo, 2025).
Pada masyarakat kolektif, seperti di Asia dan Amerika Latin, menjaga nama baik keluarga jauh lebih penting daripada mengakui adanya masalah psikologis dalam diri. Budaya gengsi menjadikan orang merasa malu dan takut terlihat lemah. Ada istilah saving face yang sangat kuat, contohnya ketika seseorang mengalami gangguan mental, hal ini dianggap bukan hanya kesalahan pribadi, tapi juga mencoreng citra keluarga.
Menurut artikel dari Impossible Psychological Services (2025), budaya saving face sering membuat seseorang merasa tertekan untuk menyembunyikan masalah psikologis agar tidak mempermalukan diri sendiri atau keluarga. Dalam budaya seperti ini, jika seseorang menunjukkan kerentanan emosional, maka bisa dianggap sebagai bentuk kegagalan dalam menjalankan peran sosial dan keluarga.
Menurut Abdullah & Brown (2011), terdapat beberapa alasan utama mengapa orang masih takut ke psikolog. Berikut adalah beberapa penyebab utamanya:
1. Stigma Sosial dan Budaya
Di budaya yang menjunjung tinggi konformitas, mengungkapkan masalah psikologis dianggap sebagai kelemahan, menurunkan martabat, dan dianggap merusak nama baik keluarga.
2. Pandangan Negatif tentang Penyakit Mental
Banyak masyarakat yang masih percaya bahwa gangguan mental adalah akibat dari dosa, kutukan, atau kelemahan. Persepsi ini juga berhubungan dengan stereotip bahwa orang dengan gangguan mental itu berbahaya.
3. Takut pada Label dan Diskriminasi
Mengunjungi psikolog berarti perlu adanya pengungkapan emosi atau perasaan. Hal ini menjadi penyebab timbulnya rasa takut diberi label negatif, dikucilkan, dan diperlakukan tidak adil di masyarakat.
Psikologi lintas budaya berperan penting dalam memahami bahwa kesehatan mental juga dipengaruhi oleh nilai, norma, dan budaya. Dalam hal ini, psikolog tidak bisa memberikan pendekatan terapi yang sama untuk semua orang. Diperlukan adanya pemahaman terhadap latar belakang budaya klien agar pendekatan terapi yang diberikan bisa lebih efektif.
Stanley Sue, dalam artikelnya “Science, Ethnicity, and Bias: Where Have We Gone Wrong?”, menekankan pentingnya pendekatan culturally competent. Pendekatan ini harus menyesuaikan metode terapi dengan budaya klien, menghargai nilai-nilai tradisional dan spiritualitas, serta menghindari generalisasi dan stereotip terhadap budaya tertentu.
Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Keberanian untuk bicara dan mencari pertolongan adalah bentuk kekuatan, bukan kelemahan. Jangan biarkan stigma menghalangi kita untuk pulih dan tumbuh menjadi versi terbaik dari diri kita.
Ada banyak artikel seru yang bisa kamu baca di welasasihconsulting.id, butuh teman bicara yang profesional? Psikolog kami siap mendengarkanmu lewat konsultasi via WhatsApp https://wa.me/6281229195390 .