Curhat ke AI: Apakah Bisa Menggantikan Psikolog?

“Halo GPT, kenapa ya akhir-akhir ini aku sering capek?”

“Dear Deepseek, menurutmu kalau aku sedih terus termasuk depresi ga?”

Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, Artificial Intelligence (AI) kini mulai merambah dunia kesehatan mental. Mulai dari chatbot berbasis AI hingga analisis media sosial untuk mendeteksi gejala awal krisis psikologis, AI menawarkan cara baru bagi banyak orang untuk mencari bantuan. Akan tetapi, fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan “apakah AI bisa menggantikan peran psikolog?”, mengingat deteksi gangguan mental dan terapinya memerlukan kecermatan dan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. 

Saat ini, AI sudah cukup mampu melakukan beberapa fungsi awal dalam kesehatan mental, seperti mendeteksi tanda-tanda dini krisis kesehatan mental melalui pola perilaku dan bahasa di media sosial​;  mengenali dan mengolah emosi dalam percakapan berbasis teks​; serta memberikan intervensi awal berupa terapi kognitif perilaku (CBT) ringan lewat chatbot​. Bahkan 34% dari 1.500 orang dewasa di Amerika Serikat menyatakan lebih nyaman membagikan permasalahan kesehatan mental kepada chatbot AI dibandingkan dengan terapis manusia (YouGov, 2024)

Tak bisa dipungkiri, AI membawa banyak kebaikan. Ia membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya kesulitan mengakses layanan kesehatan mental, terutama di tempat-tempat yang kekurangan tenaga ahli. Saat pandemi COVID-19 menghantam dan kehilangan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, AI hadir sebagai teman baru di tengah keterbatasan. Dengan semua efisiensi, kenyamanan, dan keterjangkauannya, AI menawarkan harapan baru. Meskipun potensinya besar, sejumlah studi ( Brown & Halpern, 2021; Khawaja & Bélisle-Pipon, 2023; Mansoor & Ansari, 2024; Zhang & Wang, 2024) mengungkapkan bahwa AI tidak bisa sepenuhnya menggantikan peran psikolog karena beberapa alasan mendasar seperti:

  1. Tidak Ada Koneksi Emosional Seperti Antar Manusia

Dalam hubungan klinis antara klien dan psikolog, terjalin ikatan emosional yang berharga. Rasa keterhubungan ini memberi dorongan bagi klien untuk memotivasi mereka menjalani pengobatan, bersosialisasi kembali, dan membangun kepercayaan diri. Sayangnya, chemistry semacam ini sulit—hampir mustahil—diciptakan oleh Chatbot. Sebab pada dasarnya, Chatbot hanyalah sistem yang terprogram, tanpa intuisi atau kehangatan manusiawi. Tanpa keterhubungan emosional, sesi konseling kehilangan salah satu elemennya yang paling penting.

Selain faktor internal, hambatan mencari pertolongan juga sering datang dari luar seperti stigma sosial, keterbatasan layanan, ketakutan akan penilaian negatif. Berbeda dengan manusia, Chatbot tidak bisa menilai secara intuitif kapan seseorang benar-benar membutuhkan bantuan. Ia menyerahkan seluruh keputusan pada klien, yang mana hal itu justru sangat tidak baik bagi klien terutama dengan gangguan yang berat. Di sini, kehadiran psikolog menjadi vital. Dukungan emosional yang diberikan psikolog mampu membantu klien melawan hambatan-hambatan tersebut dan berani mencari bantuan.

Seorang psikolog juga tidak hanya mendengarkan. Ia bertanggung jawab untuk memandu klien, mengembalikan kemandirian mereka, dan memastikan mereka mampu memegang kendali atas hidupnya lagi. Chatbot tidak bisa menciptakan hal tersebut

  1. Tidak Bisa Menangkap Komunikasi Non-Verbal 

Komunikasi antara klien dan psikolog bukan sekadar bertukar cerita. Ada keinginan tulus dari psikolog untuk memahami klien secara menyeluruh—bukan hanya lewat kata-kata, tapi juga lewat ekspresi wajah, nada suara, dan gestur tubuh. Sayangnya, kemampuan ini sulit dimiliki Chatbot. Walaupun teknologi makin canggih dan Chatbot bisa meniru ekspresi dukungan, ia tetap benda mati. Ia tidak bisa benar-benar menangkap ketika ekspresi klien bertentangan dengan kata-kata yang diucapkan.

Dalam sesi konseling, yang membuat klien merasa lebih baik bukan hanya karena mereka bisa curhat. Mereka merasa didengarkan, diterima, dan dipedulikan lah yang membantu klien lebih terbuka dan mematuhi pengobatan. Perasaan tersebut, akan timbul dengan sendirinya, sehingga tidak bisa diprogram. Chatbot mungkin bisa mengucapkan kalimat penuh empati. Tapi empati sejati bukan sekadar kata-kata. Ia muncul alami dari hubungan manusia dengan manusia. Selain itu, tanpa kehadiran fisik dan emosional, Chatbot cenderung kaku dan tidak bisa berimprovisasi mengikuti dinamika emosi klien.

  1. Ruang Terapi yang Mendukung Terapi

Pengalaman terapi bukan hanya tentang treatment yang diberikan tapi juga perasaan yang dihadapinya sebagai manusia keseluruhan. Oleh sebab itu, ruang terapi juga mempengaruhi perbaikan klien. Terapi bukan hanya sekadar tempat berobat, tetapi juga tempat terhubung dengan orang yang sama-sama menunggu. Interaksi di antara sesama klien akan menimbulkan perasaan senasib, sehingga mereka bisa bebas bersosialisasi tanpa ada perasaan takut akan adanya hinaan. Satu-satunya tempat klien bisa terhubung dengan orang lain yaitu melalui ruang tunggu klinik. Percakapan di ruang tunggu membuat mereka merasa bahwa permasalahan yang dialaminya bukanlah masalah yang memberatkan, bahkan sesederhana kepedulian yang ditunjukkan tenaga kesehatan terhadap ketakutan klien akan proses pengobatan. Chatbot tidak bisa menghasilkan perasaan tersebut. Selain tidak menyediakan ruang tunggu, Chatbot juga tidak bisa menimbulkan perasaan senasib karena, ketika klien berkonsultasi dengan Chatbot, ia hanya seorang diri dan tidak bertemu dengan individu lain yang senasib dengannya. Selain itu, rutinitas pergi ke klinik juga memberikan semangat klien menjalani kehidupan. 

  1. Memori Jangka Panjang yang Terbatas

Model AI saat ini memang menunjukkan kemampuan mengingat percakapan dalam satu sesi, tetapi tetap memiliki keterbatasan dalam menjaga kesinambungan hubungan jangka panjang. Dalam proses terapi yang efektif, seorang psikolog manusia tidak hanya mengingat apa yang dikatakan pasien, tetapi juga menangkap perkembangan emosional, perubahan halus dalam ekspresi, hingga pola komunikasi klien seiring waktu. Kemampuan untuk menghubungkan berbagai momen terapi secara emosional dan kontekstual inilah yang membangun kepercayaan dan pemulihan. Sayangnya, AI masih mengandalkan data statis dari sesi ke sesi tanpa bisa sepenuhnya memahami dinamika perubahan manusia yang kompleks. Akibatnya, hubungan terapeutik yang konsisten dan bermakna, yang berperan penting dalam pemulihan jangka panjang, sulit terbangun hanya dengan bantuan AI.

  1. Risiko Therapeutic Misconception

Penggunaan AI dalam layanan kesehatan mental membawa risiko munculnya therapeutic misconception, yaitu kesalahpahaman pasien yang mengira Chatbot berperan sebagai pengganti psikolog manusia. Ketika pengguna merasa nyaman dengan kecepatan respon atau ketersediaan 24 jam dari Chatbot, mereka bisa keliru mempercayai bahwa dukungan emosional dan bantuan keputusan dari AI setara dengan terapi manusia. Risiko ini diperparah oleh pemasaran aplikasi kesehatan mental yang sering kali tidak secara tegas mengkomunikasikan batasan fungsi AI. Jika tidak diberi pemahaman yang benar, pasien dapat menunda atau bahkan mengabaikan kebutuhan untuk mendapatkan bantuan profesional yang sesungguhnya, yang justru dapat memperburuk kondisi mereka.

  1. Aspek Etika dan Privasi

Selain tantangan teknis dan klinis, penggunaan AI dalam kesehatan mental juga menimbulkan pertanyaan serius tentang etika dan privasi. Chatbot mental health mengumpulkan informasi pribadi yang sangat sensitif, mulai dari perasaan terdalam, pengalaman trauma, hingga ide bunuh diri. Tanpa pengawasan regulasi yang ketat, data ini berisiko bocor, disalahgunakan untuk kepentingan komersial, atau digunakan tanpa persetujuan penuh pengguna. Di banyak kasus, pengguna mungkin tidak benar-benar memahami bagaimana data mereka diproses atau untuk tujuan apa data tersebut digunakan. Selain itu, standar perlindungan data di sektor kesehatan digital belum sepenuhnya mampu melindungi kerahasiaan dan martabat pasien seperti dalam terapi konvensional. 

Meskipun Chatbot tidak bisa menggantikan psikolog, bukan berarti tidak bermanfaat. Ia bisa mendukung proses terapi, asalkan bukan “gerbang utama” dan hanya bisa dipakai untuk klien yang sudah pernah berkonsultasi sebelumnya. Peran Chatbot dalam mendukung terapi antara lain memonitori gejala, memantau efek samping obat, dan menjadi jadwal pengingat terapi dgn psikolog. Peran psikolog tetap dibutuhkan untuk membantu permasalahan psikologis individu, meskipun sudah banyak AI yang tersedia

Setelah baca artikel ini, semoga kamu jadi lebih milih konsultasi ke psikolog ya. Salah satu caranya bisa lewat Welas Asih Consulting melalui nomor ini https://wa.me/6281229195390. Selain konsultasi, Welas Asih Consulting juga bisa bikin kamu lebih banyak informasi, dengan cara klik https://welasasihconsulting.id/. Ga kalah sama AI deh!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top