
Penonton mungkin berpikir bahwa Adolescence hanyalah serial drama remaja biasa yang penuh dengan konflik keluarga, cinta, dan kenakalan. Namun di balik itu, serial ini mengangkat isu serius mengenai bagaimana remaja bisa terjerumus dalam tindakan kriminal, karena tekanan lingkungan, trauma masa lalu, dan kurangnya dukungan sosial. Pertanyaannya, apakah yang ditampilkan di layar mencerminkan kenyataan yang sedang terjadi pada generasi muda?
Serial Adolescence mengisahkan sejumlah tokoh remaja yang menghadapi kehidupan keras. Ada yang dibesarkan dalam kekerasan, menjadi korban bullying, dan ada juga yang harus bertahan hidup di lingkungan yang penuh tekanan. Tanpa bimbingan yang sehat, mereka perlahan berubah menjadi remaja yang menyimpan amarah dan akhirnya melakukan kekerasan.
Serial ini memang bukan diangkat dari kisah nyata. Namun, serial ini terinspirasi oleh peningkatan kasus kejahatan menggunakan pisau oleh remaja di Inggris yang hampir mencapai 18.500 kasus pada bulan Maret 2023 (Epic Dope Staf, 2025). Hal tersebut membuat Jack Thome dan Stephen Graham tertarik untuk menulis dan membuat serial ini.
Tokoh-tokoh remaja dalam Adolescence tidak serta merta jahat. Perilaku mereka adalah hasil dari lingkungan yang penuh kekerasan, pengabaian, dan kegagalan dalam intervensi dini. Beberapa dari mereka mengalami parental neglect, bullying berat, hingga trauma pada usia anak-anak.
Masa remaja ditandai dengan perkembangan otak yang signifikan, terutama di bagian prefrontal cortex atau bagian yang bekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol diri. Menurut Romer (2010), bagian otak ini masih belum sepenuhnya matang hingga usia pertengahan dua puluhan, sehingga bisa menyebabkan sifat yang impulsif, mudah terbawa emosi, dan rentan terhadap teman sebaya.
Menurut Katembu et al. (2023), trauma pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan gangguan dan perilaku agresif pada masa remaja. Mengapa bisa? Trauma yang dialami saat kecil dapat merusak bagian-bagian otak yang berfungsi untuk mengendalikan emosi dan perilaku. Selain itu, trauma juga bisa mengaktifkan sistem di otak yang disebut axis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), yang mendorong produksi hormon stres. Hal ini bisa menyebabkan beban stres yang tinggi, yang akhirnya mengganggu perkembangan otak dan menyebabkan perilaku agresif atau sulit mengendalikan emosi.
Fenomena pada serial ini bukan hanya soal remaja yang nakal, tetapi menunjukkan adanya krisis rasa aman yang membuat remaja merasa satu-satunya jalan bertahan adalah dengan kekerasan. Di Adolescence, hal ini divisualisasikan lewat karakter yang terpaksa membawa senjata untuk melindungi diri atau membalas dendam.
Psikologi forensik memandang remaja yang menjadi pembunuh sebagai individu yang mungkin mengalami gangguan psikologis, kurangnya kontrol diri, yang disebabkan oleh perkembangan otak yang belum matang. Untuk mengatasinya, diperlukan rehabilitasi psikologis, terapi perilaku, dan pembinaan yang bisa mengubah pola pikir dan perilaku remaja menjadi lebih positif (Ranga & Kavita, 2021).
Adolescence bukan hanya kisah tentang kenakalan remaja, tapi juga mengingatkan kita bahwa setiap remaja butuh didengar, dipahami, dan diberi kesempatan untuk tumbuh. Dengan dukungan yang tepat dari keluarga, sekolah, teman, hingga Masyarakat, masa depan mereka bisa berubah. Karena di balik luka, selalu ada harapan untuk pulih dan menjadi lebih baik. Temukan artikel menarik lainnya di welasasihconsulting.id. Butuh panduan profesional? Psikolog kami siap mendampingi kamu lewat konsultasi via WhatsApp https://wa.me/6281229195390.