“Kehidupan perkotaan dengan segala kompleksitasnya perlu diakui menjadi salah satu pemicu stres”
Masyarakat urban memiliki populasi yang terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Peningkatan kepadatan penduduk di kota terjadi karena sumber daya yang lebih mudah diakses dan diperoleh. Namun, menjalani hidup di kota rentan membebani tubuh dan otak. Diketahui sejak lama bahwa tingkat penyakit mental cenderung lebih tinggi daripada di desa.
Banyak penelitian juga membuktikan bahwa orang yang lahir dan besar di kota mempunyai tingkat psikosis yaitu berupa gangguan kecemasan dan depresi yang tinggi. Nah, masyarakat urban ini jauh lebih reaktif terhadap kritik sosial sehingga berpotensi meningkatkan stres. Inilah beberapa suka duka kehidupan di kota yang bisa menempa mental kamu menjadi lebih kuat.
Manajemen Waktu dengan Memperhitungkan Kemacetan
Perkotaan dan kemacetan sudah seperti satu paket combo yang tak bisa dilepaskan satu sama lain. Mulai dari permasalahan macet inilah kamu bisa merasa kesal dari terjebak selama berjam-jam tanpa bisa bergerak hingga jadwal kegiatan yang otomatis akan porak poranda. Tapi, di samping rasa tak enak karena macet yang kamu hadapi, kamu jadi belajar untuk mengatur waktu dengan baik. Maka dari itu, memperkirakan waktu saat ini menjadi hal tak sulit untuk kamu lakukan sehari-hari.
Menghadapi Banjir
Tak hanya sabar menghadapi kemacetan saja, kamu juga harus sabar menghadapi banjir. Terlebih jika sedang musim hujan dan curah hujan sedang tinggi-tingginya. Kamu harus segera bergegas menaikkan barang menuju ke lantai atas agar barang tidak hanyut atau terendam air.
Berangkat Kerja Pagi Buta, Pulang Kerja Larut Malam
Memang ada masanya kamu tak pernah bertemu dengan matahari pagi karena berangkat pagi dan tak ingin terlambat sampai kantor. Bahkan kamu pergi bekerja di saat matahari belum menampakkan sinarnya. Lalu, kamu baru bisa pulang menuju ke rumah ketika matahari sudah tenggelam. Walaupun capeknya luar biasa, tapi ada hal yang dipelajari bahwa bisa bertahan hidup ya cukup menjalani dengan ikhlas dan tak banyak mengeluh.
Bebas Menjadi Diri Sendiri
Setelah menyebutkan banyak dukanya, hidup sebagai masyarakat urban di kota masih ada enaknya kok. Salah satunya bebas menjadi diri sendiri, karena orang lain minim peduli dengan kehidupan sesamanya. Kamu ingin baca sambil berdiri di halte, mendengarkan lagu menggunakan headset sambil geleng-geleng kepada atau menggunakan pakaian yang sangat tertutup lengkap dengan masker dan topi tak akan ada yang mempermasalahkan. Walaupun orang lain melihat paling hanya dua detik saja. Hal ini karena masing-masing pribadi masyarakat urban tak ingin mencampuri urusan orang lain.
Banyak Pilihan Pusat Perbelanjaan
Jika kamu penat dengan berbagai urusan, tak perlu bingung kamu bisa berjalan-jalan di mall. Mulai dari mall biasa sampai mall yang isinya barang branded semua. Tinggal menyesuaikan isi dompet atau jumlah nominal di dalam tabunganmu.
Itulah suka dukanya jika memutuskan hidup sebagai masyarakat urban di ibukota yang dirasakan oleh banyak orang. Kalau masih ingin tahu info yang lain langsung saja cek https://welasasihconsulting.id/. Nah, Welas Asih Consulting juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi kamu yang ingin berkonsultasi loh, for more info kamu bisa hubungi Minsih melalui nomor berikut ini https://wa.me/6281229195390 ya.Sumber: Ellard, Colln. 2012, 21 August. Stress and the City. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/mind-wandering/201208/stress-and-the-city.