Stop Viralin Kekerasan! Dampak Psikologis Video Sadis yang Berseliweran di Media Sosial

Lagi scroll video, tiba-tiba muncul video penganiayaan. Kamu kaget, tapi jari malah buka kolom komentar, lalu share ke teman dengan caption “gila parah banget”.

Tanpa disadari, kamu bukan cuma jadi penonton, tapi juga penyebar kekerasan. Bukan karena jahat, tapi otak kita sering keliru menganggap video seperti itu sebagai informasi penting. Padahal, bisa berdampak besar secara psikologis baik untuk kita, orang lain, bahkan korban dalam video itu sendiri.

Di Indonesia, pengguna media sosial mencapai lebih dari 143 juta orang, hampir setiap orang berpotensi ikut serta dalam penyebaran konten semacam ini (Kemp, 2025). Ketika video kekerasan dibagikan, dampaknya meluas, dan kita mungkin tidak menyadari betapa besar pengaruh yang kita miliki terhadap kesejahteraan orang lain.

Apa itu Vicarious Trauma?

Meskipun kita bukan menjadi korban langsung dari kekerasan, menyaksikan penderitaan orang lain berulang-ulang lewat video atau berita bisa mengubah cara otak dan emosi kita bekerja. Inilah yang disebut vicarious trauma atau trauma sekunder. Trauma ini muncul karena menyaksikan penderitaan orang lain terutama melalui gambar atau video yang intens. Otak kita akan menyerap emosi seolah-olah kita sedang mengalaminya sendiri (Morrissette, 2004).

Vicarious trauma bisa terjadi di mana saja, namun cara orang merespons video kekerasan bisa saja berbeda, tergantung dengan budaya mereka. Menurut Hofstede’s Cultural Dimensions Theory (2010), di budaya kolektif seperti di banyak negara Asia, seseorang sangat terikat pada keluarga, komunitas, atau budaya. Maka saat video kekerasan tersebar, bukan hanya individu yang merasa takut, tapi seluruh komunitas bisa ikut merasa terancam. Ini bisa menimbulkan trauma kolektif, memperkuat stigma terhadap korban, atau membuat komunitas lebih tertutup demi menjaga keamanan Bersama.

Di negara dengan budaya individualistik seperti di banyak negara Barat, orang cenderung menekankan hak dan pengalaman individu. Melihat kekerasan bisa memicu kemarahan atas pelanggaran hak individu dan akan mendorong aksi seperti tuntutan hukum atau kampanye keadilan. Fokusnya lebih kepada perlindungan individu ketimbang ketakutan kolektif (Nickerson, 2023).

Kenapa Kita Harus Stop Share Video kekerasan?

Menyebarkan video sadis bisa memperpanjang trauma bagi korban dan keluarganya. Mereka bukan hanya merasakan Kembali kekerasan itu setiap video beredar, tapi juga merasa terekspos di publik. Hal ini bisa membuka kembali luka bagi korban.

Saat video kekerasan jadi viral, beresiko pada kita yang mulai melihatnya sebagai tontonan biasa. Ini bisa jadi menormalkan kekerasan dalam budaya digital, dari kekerasan berubah jadi konten hiburan. Fenomena ini membuat kita makin kebal terhadap penderitaan dan bisa menurunkan empati secara kolektif.

Dari sisi psikologis, paparan secara visual terhadap kekerasan yang berulang bisa menyebabkan stress dan kecemasan. Melihat tayangan visual kekerasan bisa berdampak sama atau bahkan lebih parah dibanding pengalaman langsung bagi sebagian orang, karena sifat tayangan mendetail dan berulang (Mousoulidou et al., 2024). Meskipun kita tidak berada di lokasi kejadian, bukan berarti kita akan bebas dari dampaknya.

Di era digital, cukup satu klik kita bisa jadi saksi, dan tanpa sadar jadi penyebar. Setiap video kekerasan yang tersebar bukan hanya memperdalam luka korban, tapi juga bisa melukai ribuan orang yang melihatnya. Empati bukan hanya soal perasaan, tapi juga tentang apa yang kita klik dan share.

Temukan lebih banyak insight dan artikel menarik lainnya di welasasihconsulting.id. Jika kamu merasa perlu dukungan lebih lanjut, psikolog kami siap membantu melalui konsultasi via WhatsApp https://wa.me/6281229195390.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top