
“Apa gunanya punya mimpi besar, kalau setiap hari masih harus bertarung hanya untuk bisa makan?”
Di balik angka kemiskinan dan grafik pertumbuhan ekonomi, ada ibu yang harus memilih beli susu anak atau bayar kontrakan, ada juga pemuda yang harus menunda kuliah karena harus membantu cari nafkah. Dalam situasi seperti ini, harapan itu jadi barang yang bernilai mewah.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada September 2024 tercatat sebanyak 24,06 juta orang di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan fisik, tetapi juga membentuk cara seseorang berpikir. Bayangkan kamu merasa hidup seperti nonton film, tapi kamu bukan sutradaranya, juga bukan pemain utamanya. Semua sudah ditentukan dan kamu hanya jadi penonton. Itulah gambaran pola pikir fatalistik.
Fatalistik adalah keyakinan bahwa hidup sudah ditentukan oleh takdir, kehendak tuhan, atau kekuatan spiritual lain. Secara psikologis, pola pikir seperti ini bisa berdampak negatif karena membuat seseorang pasrah dan merasa tidak berdaya untuk mengubah arah hidupnya (Joshanloo, 2022).
Bagaimana Kemiskinan Memicu Fatalisme?
Saat hidup terus-menerus berada pada kondisi penuh tekanan, sangat sulit bagi mereka untuk memikirkan masa depan, apalagi membuat rencana jangka panjang. Kegagalan atau pengalaman hidup yang tidak mudah dapat membuat seseorang merasa tidak punya kendali atas hidupnya.
Menurut Cidade et al. (2016), bencana sosial seperti kemiskinan, diskriminasi, penggusuran, dan pengangguran dapat memperparah kondisi ini. Ketika segala usaha tidak membuahkan hasil, maka akan muncul perasaan tidak berdaya yang semakin kronis. Di sinilah pola pikir fatalistik mulai berkembang sebagai hasil dari keyakinan bahwa nasib sudah ditentukan oleh takdir.
Bagaimana Kita Bisa Mengubahnya?
Mengubah pola pikir fatalistik bukan tentang menyuruh orang untuk lebih semangat, tapi kita perlu menciptakan lingkungan yang dapat membuat mereka merasa berdaya. Salah satu caranya yaitu melalui empowerment-based education atau pendidikan berbasis keberdayaan. Dalam hal ini, diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan kepercayaan diri, kemampuan mengambil keputusan, kesadaran bahwa hidup dapat berubah, dan kesadaran bahwa mereka memiliki kontrol diri atas masa depan (Pajardi et al., 2020).
Fatalisme lahir dari luka, kegagalan, dan realitas kehidupan yang keras. Tapi bukan berarti itu tidak bisa diubah. Di tengah bencana sosial yang terus datang, harapan terbesar kita bukan sekedar untuk bertahan, tetapi juga harus percaya bahwa masa depan ada di tangan kita.
Temukan inspirasi dan panduan praktis lainnya di welasasihconsulting.id, dan jangan ragu untuk konsultasi ke psikolog kami via WhatsApp https://wa.me/6281229195390 jika kamu butuh dukungan untuk memulai perubahanmu hari ini.